Banyak orang yang mengira setelah anak mencapai usia tepat dua tahun,
maka ia wajib disapih. Bagaimana pun caranya akan dilakukan ibu agar
anaknya berhenti menyusu pada usia itu, mulai dari mengolesi puting
dengan sesuatu yang tidak disukai anak seperti jamu, saos, lipstik,
bahkan sampai membiarkannya menangis berjam-jam. Hal ini tidak lepas
dari keinginan para ibu (dalam hal ini yang muslimah) untuk menjalankan
perintah Allah yang disebutkan dalam Al Qurán agar ibu menyusui anaknya
dengan sempurna yaitu selama dua tahun. Maka mereka mengira wajib bagi
setiap ibu untuk menghentikan menyusui anaknya yang telah mencapai dua
tahun seketika itu juga, bagaimanapun caranya. Benarkah demikian? Apa
yang dimaksud para ulama bahwa tidak ada penyusuan setelah dua tahun?
Mari kita simak dalil-dalil dalam Al Qurán dan As-Sunnah seputar
penyusuan yang sempurna dan penyapihan.
Islam Mengajarkan untuk Menyayangi Anak-anak
Tidak diragukan lagi bahwa Islam sangat memperhatikan anak-anak. Itu
ditunjukkan dari perilaku Nabi Muhammad -shallallahuálayhi wa sallam-
yang sangat sayang kepada anak-anak. Beliau –shallallahu ‘alaihi wa
sallam- pernah memperpendek sholatnya karena mendengar anak yang
menangis. Beliau bersabda, “Aku melakukan sholat dan aku ingin
memperpanjang bacaannya, akan tetapi tiba-tiba aku mendengar suara
tangis bayi sehingga aku memperpendek sholatku karena aku tahu betapa
gelisah ibunya karena tangis bayi itu.” [1]
Dan pernah Nabi -shallallahuálayhi wa sallam- ketika berkhutbah
melihat kedua cucu beliau Hasan dan Husain –radhiyallahu ‘anhuma-
menghampiri beliau, maka beliau turun dari mimbar dan menggendong
keduanya ke atas mimbar, beliau pun bersabda, “Sesungguhnya aku melihat
kedua anak ini berjalan dan jatuh, aku tidak sabar hingga turun
mengambil keduanya.” [2]
Lihatlah bagaimana anak-anak dapat mempengaruhi pelaksanaan perkara
sebesar sholat dan khutbah. Dan masih banyak lagi kisah tentang
bagaimana Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memperlakukan anak-anak
dengan penuh kasih sayang. Sesungguhnya telah ada pada beliau suri
teladan yang baik. [3] Maka demikian pulalah Islam mengajarkan umatnya
melalui Nabi Allah Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tersebut
agar menyayangi anak-anak, bahkan dari sebelum anak itu lahir sampai
setelah dilahirkan.
Pemberian ASI selama Dua Tahun dalam Islam
Salah satu bentuk kasih sayang yang diajarkan Islam adalah penyusuan
atau pemberian ASI (air susu ibu) kepada anak yang baru lahir hingga dua
tahun.
Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 233: “Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum
dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada
dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Ayat di atas menjelaskan tentang anjuran kepada para ibu untuk
menyusui anak-anak mereka hingga dua tahun, dan dibolehkan bagi mereka
untuk mencarikan ibu susu bila mereka mau. Ini menunjukkan betapa
perihal pemberian ASI ini bukanlah hal yang sepele, sampai-sampai
anjurannya tercantum dalam Kitab Suci umat Islam. Dan rahasia mengapa
Allah menyebutkan “dua tahun” sebagai masa menyusui yang sempurna maka
hanya Allah saja lah yang tahu. Namun manusia kini mengetahui tentang
manfaat yang luar biasa dari pemberian ASI selama dua tahun. Hal itu
diperkuat dengan anjuran dari WHO kepada para ibu di seluruh dunia,
tidak hanya yang muslimah, untuk menyusui anak-anak mereka yang
disebutkan selama dua tahun pula.
Dan Nabi -shallallahuálayhi wa sallam- sebagai pembawa risalah ini,
tidak pernah melakukan hal yang bertentangan dengan apa yang telah
beliau bawakan.
Dalam sebuah hadits shahih yang panjang yang diriwayatkan oleh Al
Imam Muslim, disebutkan ada seorang perempuan yang telah berbuat zina.
Lalu datanglah ia kepada Rasulullah –shallallau’alaihi wa sallam- untuk
bertobat. Namun Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menolak pengakuan
perempuan tersebut. Keesokannya perempuan itu datang lagi dan berkata
bahwa ia telah hamil akibat perbuatan zina tersebut. Lalu Nabi
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyuruhnya pulang sampai melahirkan.
Setelah melahirkan, perempuan itu datang lagi sambil membawa bayi
laki-lakinya yang dibungkus dengan secarik kain. Dia mengatakan bahwa
bayi itu adalah bayi yang telah dia lahirkan. Lalu Nabi –shallallahu
‘alaihi wa sallam- bersabda, “Pulanglah kamu dulu dan susuilah dia
sampai kamu menyapihnya.” Setelah tiba masa menyapih, perempuan itu
datang lagi membawa bayinya dan di tangan bayi itu ada sepotong roti.
Dia mengatakan bahwa ia telah menyapih anaknya dan dia sudah bisa
memakan makanan. Akhirnya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
menyerahkan bayi tersebut kepada salah seorang sahabat, kemudian beliau
mengeluarkan perintah supaya dilaksanakan hukuman terhadap perempuan
tersebut. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kemudian memerintahkan
agar jenazah perempuan tersebut diurus, dan beliau pun menyolatinya dan
menguburkannya. [4]
Lihatlah betapa pedulinya Islam terhadap pemeliharaan seorang bayi
yang masih dalam kandungan sampai dia dilahirkan untuk kemudian disusui
sampai disapih. Sungguh hanya orang-orang bodoh yang berpendapat bahwa
Islam telah berbuat kezhaliman melaksanakan hukuman tersebut kepada sang
ibu. Padahal justru sebaliknya, Allah menyayangi hambaNya yang
bertaubat, dan Dia tidak menginginkan hambaNya hidup lebih lama karena
dia bisa saja melakukan dosa lagi. Ketahuilah bahwa perempuan itu
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan beruntunglah sang anak karena
telah lahir ke dunia ini dengan selamat, mendapatkan ASI penuh hingga
dua tahun, dan disusui oleh ibunya sendiri yang telah bertaubat.
Dalam riwayat lain disebutkan, “Sesungguhnya dia telah bertobat
dengan sungguh-sungguh. Seandainya tobat perempuan ini dibagi-bagikan
kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, maka hal itu masih cukup.
Pernahkah kamu menemukan tobat yang lebih baik dibandingkan apa yang
dilakukan perempuan ini? Dengan jujur dia menyerahkan dirinya supaya
dilaksanakan hukuman Allah atasnya.” [5]
Hanya Allah pemberi taufik dan hidayah.
Penyapihan: Wajib Tepat Dua Tahun?
Dalam tafsir Ibnu Katsir, ketika menjelaskan surat Al Baqarah ayat
233 tentang anjuran pemberian ASI, disebutkan, “Ini adalah bimbingan
dari Allah Taála bagi para ibu supaya mereka menyusui anak-anaknya
dengan sempurna, yaitu dua tahun penuh. Dan setelah itu tidak ada lagi
penyusuan.”
Yang dimaksud dengan “setelah itu tidak ada lagi penyusuan” adalah
bahwa penyusuan yang terjadi setelah anak mencapai dua tahun itu tidak
dianggap “penyusuan”. Hal ini berkaitan dengan hukum mahram yang terjadi
antara anak dengan ibu susu, seperti yang dijelaskan dalam tafsir
tersebut. Rasulullah –shallallahu álaihi wa sallam- bersabda, “Tidak
menjadikan mahram akibat penyusuan, kecuali yang dilakukan kurang dari
dua tahun.” [6] Dan dalam riwayat lain disebutkan dengan tambahan, “Dan
penyusuan setelah dua tahun itu tidak mempengaruhi apa-apa.” [7]
Kedua hadits tersebut menunjukkan bahwa penyusuan atau pemberian ASI
yang sebenarnya adalah dalam kurun waktu dua tahun, sedangkan yang
setelahnya tidak dianggap “memberi ASI”. Karena seperti yang disebutkan
dalam hadits lain, “Sesungguhnya penyusuan itu karena rasa lapar.” [8]
Maka pemberian ASI kepada seorang anak sebelum dua tahun dianggap karena
ia merasa lapar, sedangkan yang setelahnya tidak dianggap demikian. Dan
memang seperti yang dijumpai di dalam realita, bahwa anak-anak yang
telah mencapai dua tahun atau lebih yang masih menyusu kepada ibunya
adalah memang bukan karena mereka merasa lapar, melainkan karena mereka
masih ingin selalu bersama ibunya, dalam pelukannya sambil “menyusu”.
Dan ini merupakan merupakan salah satu contoh lain dari kasih sayang
yang diajarkan Islam, Alhamdulillah. Tidak diwajibkannya menghentikan
penyusuan atau menyapih setelah anak mencapai usia dua tahun merupakan
bukti dari betapa Islam memperhatikan anak-anak. Allah telah menakdirkan
kesulitan bagi seorang anak untuk begitu saja lepas dari dekapan
ibunya, begitu juga sebaliknya, betapa sulitnya ibu melepaskan anaknya
dari dekapannya.
Memahami surat Al Baqarah ayat 233 di atas sebagai dalil wajibnya
menyapih terhadap anak yang telah mencapai usia dua tahun adalah tidak
tepat. Karena ayat di atas tidak berbicara tentang hal itu, melainkan
tentang anjuran agar para ibu menyusui anaknya hingga penyusuan itu
sempurna yaitu hingga dua tahun. Seandainya yang dimaksud adalah
demikian, maka tentu akan kita dapatkan penjelasan ulama tentang hal
ini, namun tidak ada satupun penjelasan ulama mengenai hal tersebut.
Yang ada justru apabila penyapihan dilakukan sebelum dua tahun, yaitu
bila memang ada suatu sebab yang tidak memungkinkan untuk terus
melakukan penyusuan hingga sempurna selama dua tahun maka hal itu
dibolehkan, yang berarti perkara penyusuan hingga dua tahun ini adalah
suatu hal yang amat dianjurkan, bahkan dalam literatur Arab, anjuran
tersebut bermakna lebih kepada perintah.
Ada satu kisah yang insya Allah dapat menjelaskan hal ini, yaitu
kisah Ummu Sulaim yang dikenal sebagai shahabiyyah yang hidup di zaman
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, teladan wanita shalihah, ibu dari
Anas bin Malik –radhiyallahu ’anhu- yang merupakan salah seorang sahabat
yang banyak meriwayatkan hadits Nabi –shallallahu ‘alaihi w sallam-
Ketika Islam bersinar di muka bumi, cahayanya sampai di hadapan Ummu
Sulaim, maka yang pertama kali dia dakwahi adalah keluarganya, yaitu
suaminya. Namun suaminya menolak, hingga ia mati dalam keadaan kafir.
Ketika Ummu Sulaim mengetahui suaminya terbunuh, ia tetap tabah dan
mengatakan, ”Aku tidak akan menyapih Anas hingga dia sendiri yang
memutuskannya, dan aku tidak akan menikah sehingga Anas menyuruhku.” [9]
Dari kisah di atas dapat kita ketahui bahwa kemungkinan ketika itu
Anas bin Malik masih kecil dan masih menyusu. Seandainya penyapihan
wajib dilakukan ketika anak berusia dua tahun, maka tentu Ummu Sulaim
tidak akan mengatakan bahwa ia tidak akan menyapih Anas sampai anaknya
itu sendiri yang memutuskan. Karena bila demikian halnya maka Ummu
Sulaim telah menyelisih syariat Islam, yang tentunya hal itu akan
mendapat teguran dari Nabi-shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang masih
hidup di zaman itu. Namun tidak ada keterangan dari para ulama mengenai
hal ini, sedangkan kisah ini mahsyur di kalangan mereka. Wallahua’lam.
Cara Menyapih yang Diajarkan Islam
Tidak disebutkannya kewajiban menyapih di usia tepat dua tahun, bukan
berarti anak seterusnya tidak disapih. Tentu saja, bagi siapa saja yang
ingin menyapih anaknya tepat di usia dua tahun, maka itu adalah yang
terbaik karena telah disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 233 bahwa
penyusuan hingga dua tahun adalah penyusuan yang telah sempurna. Namun
bagimana cara menyapihnya adalah dikembalikan kepada orang tua
masing-masing.
Namun salah satu faidah yang dapat kita ambil dari ayat tersebut
tentang penyapihan sebelum dua tahun, adalah bahwa hal itu haruslah
dilakukan dengan kerelaan dan musyawarah antara ayah dan ibu. Karena
tidak jarang penyapihan ingin dilakukan oleh sang ibu saja, karena sudah
lelah, kerepotan atau karena alasan lain, ataupun ayah saja yang
menginginkannya karena tidak ingin ikut-ikutan repot, atau agar istrinya
bisa merawat diri, dan lain-lain. Maka tidak menutup kemungkinan
penyapihan setelah anak mencapai dua tahun pun seharusnya dengan
kerelaan dan musyawarah antara ayah dan ibu. Ditambah lagi anak yang
yang telah berusia dua tahun pun sudah bisa diajak bermusyawarah, maka
tentu adalah hal yang sangat terpuji bila penyapihan dapat dilakukan
dengan kerelaan sang anak pula. Apalagi Islam telah mengajarkan melalui
Nabi Allah Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- agar menyayangi
anak-anak. Maka apakah menolak menyusui anak dan membiarkannya menangis
adalah kasih sayang yang diajarkan Islam, sementara Nabi
–shallallahu’alayhi wasallam- pernah memperpendek sholatnya karena
mendengar seorang anak yang menangis?
Allah berfirman dalam surat Luqman ayat 14: “Dan Kami perintahkan
kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang
ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”
Ayat di atas menunjukkan bahwa semua yang telah dilakukan oleh orang
tua mulai dari ibu yang mengandung, melahirkan, pemberian ASI yang
sempurna hingga penyapihan adalah jasa yang karenanya wajib bagi setiap
manusia berbakti dan bersyukur kepada kedua orangtuanya setelah ia
berbakti dan bersyukur kepada Allah. Maka jadikanlah jasa ini sebagai
kenangan indah yang akan dikenang baik oleh anak-anak hingga mereka
besar nanti.
Menyapihlah dengan kasih sayang, sebagaimana Islam telah mengajarkan kasih sayang.
Wallahua’lam.
Footnote:
- HR Bukhari dan Muslim.
- HR. Abu Dawud.
- Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al Ahzab:21)
- Dari Buraidah, “Suatu ketika ada seorang wanita Ghamidiyah datang
menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Wahai
Rasulullah, diriku telah berzina, oleh karena itu sucikanlah diriku.”
Tetapi untuk pertama kalinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak menghiraukan bahkan menolak pengakuan wanita tersebut. Keesokan
harinya wanita tersebut datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam sambil berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa anda menolak
pengakuanku? Sepertinya engkau menolak pengakuanku sebagaimana engkau
telah menolak pengakuan Ma’iz. Demi Allah, sekarang ini aku sedang
mengandung bayi dari hasil hubungan gelap itu.” Mendengar pengakuan itu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sekiranya kamu ingin
tetap bertaubat, maka pulanglah sampai kamu melahirkan.” Setelah
melahirkan, wanita itu datang lagi kepada beliau sambil menggendong
bayinya yang dibungkus dengan kain, dia berkata, “Inilah bayi yang telah
aku lahirkan.” Beliau lalu bersabda: “Kembali dan susuilah bayimu
sampai kamu menyapihnya.” Setelah mamasuki masa sapihannya, wanita itu
datang lagi dengan membawa bayinya, sementara di tangan bayi tersebut
ada sekerat roti, lalu wanita itu berkata, “Wahai Nabi Allah, bayi kecil
ini telah aku sapih, dan dia sudah dapat menikmati makanannya sendiri.”
Kemudian beliau memberikan bayi tersebut kepada seseorang di antara
kaum muslimin, dan memerintahkan untuk melaksanakan hukuman rajam.
Akhirnya wanita itu ditanam dalam tanah hingga sebatas dada. Setelah itu
beliau memerintahkan orang-orang supaya melemparinya dengan batu.
Sementara itu, Khalid bin Walid ikut serta melempari kepala wanita
tersebut dengan batu, tiba-tiba percikan darahnya mengenai wajah Khalid,
seketika itu dia mencaci maki wanita tersebut. Ketika mendengar makian
Khalid, Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tenangkanlah
dirimu wahai Khalid, demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya,
sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat
(seperti) itu dilakukan oleh seorang pemilik al-maks niscaya dosanya
akan diampuni.” Setelah itu beliau memerintahkan untuk menyalati
jenazahnya dan menguburkannya.” (HR. Muslim no. 1695)
- HR Muslim (1696) kitab al Huduud, at Tirmidzi (1453) kitab al
Huduud, Ibnu Majah (2555) Kitab al Huduud, Abu Dawud (4440), kitab al
Huduud, Ahmad (19360). Lihat Shohih at Tirmidzi, oleh Al Albani.
- HR Ad-Daruquthni, dari Ibnu Abbas –radhiyallahu’anhu-. Kemudian Ad
Daruquthni mengatakan: “Hadits tersebut tidak disandarkan pada Ibnu
Uyainah kecuali oleh al Haitsam bin Jamil, dan ia adalah seorang yang
dapat dipercaya dan eorang hafizh. Berkenaan dengan hal ini Ibnu Katsir
mengatakan: “Hadits ini terdapat dalam kitab al Muwattha’, Imam Malik
meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid, dari Ibnu Abbas, secara marfu’. Juga
diriwayatkan oleh Ad Darawardi dari Tsaur, dari Ikrimah, dari Ibnu
Abbas, dan ia menambahkan: “Dan penyusuan setelah dua tahun itu tidak
mempengaruhi apa-apa.”
- baca footnote sebelumnya.
- HR. Bukhari (5102), Muslim (1455), an Nasa-i (3312) kitab an Nikaah,
Ahmad (24111). Dishohihkan oleh Al Albani, lihat Irwaa-ul Gholiil
(2151).
- Nisa` Haular Rasul karya Mahmud Mahdi Al-Istambuli dan Musthafa Abu An-Nashr Asy-Syalabi.
sumber:Ummu Sumayyah Mutiara